Labirin Rau

Oleh: Putri Dwina Juniandri
German literature, Istanbul University

15 Maret 2012

Dibaliknya cangkir mungil itu dengan mantap. Sepersekian detik saja lalu diperlihatkannya guratan ampas kopi yang tak beraturan itu. “Hidupmu bagai labirin,“ ujar sang teyze[1] dengan sunggingan senyum.  Labirin. Kata itu terus terngiang di kepala. L-a-b-i-r-i-n. Tujuh huruf yang enggan pergi.

***

            Entah mengapa malam itu begitu saja kaki ini melangkah masuk ke sebuah kedai di ujung Taksim. Kedai yang tertutup oleh deretan toko baju berkelas itu adalah sebuah kedai minuman umum di sudut kota. Teh, kopi, sisha bermacam rasa, dan permainan tavla[2] menjadi suguhan khas. Dan untuk pertama kalinya sejak tinggal di kota dua benua ini aku mencoba secangkir kopi. Kopi yang kupesan hanyalah secangkir kopi mungil tak lebih besar dari sejengkal tangan. Kuputuskan untuk tidak menambahkan gula ke dalamnya. Biarlah ia tetap menjadi pekat dan pahit, pikirku.

Dengan sedikit ragu kuangkat cangkir itu dan kudekatkan ke bibir. Kuperhatikan cairan kental berwarna hitam di hadapan. Kopi? Aku tak pernah suka kopi. Dari semua jenis dengan berbagai campuran penggugah rasa tak ada yang mengena. Kopi selalu membuatku mual, titik. Namun anehnya tidak malam ini. Mungkin karena aroma legitnya atau otak yang dengan sengaja mengalihfungsikan logika dan indra pengecap hingga meyakinkanku untuk meneguk. Aku tak tahu dan tak mau tahu. Yang aku tahu kopi di cangkir mungil malam itu menjadi hal yang tak kuasa kutolak dan tanpa dinyana terasa begitu nikmat.

Bulir-bulir kopi berlari cepat menuju tenggorokan dan berkejar-kejaran sampai ke lambung. Merambah, mengalir hangat. Kukecap ampasnya dengan perlahan sembari memandang orang-orang berlalu-lalang. Samar-samar terdengar sekumpulan pemusik memainkan saz[3] dengan tepukan riuh di seberang jalan. Orang-orang yang berjalan cepat mengendurkan langkah dan tenggelam dalam irama. Tak sungkan mereka melempar koin dan ikut menari bersama. Sementara beberapa wisatawan asing dengan gesit membidik renyahnya kota dalam lensa. Di tengah semua hiruk-pikuk itu, di sinilah aku. Duduk diam dengan tatapan lelah. Menggenggam ponsel begitu resah dan sesekali melirik ke arah layar. No new message. Tak mungkin ada pesan di tengah malam seperti ini, batinku. Ya tak mungkin. Kupaksa diri untuk tenang dan menarik napas dalam. Asupan karbon dioksida di kota yang bersih ini tak cukup menentramkan ternyata.

Tanpa diminta sebersit rupa itu muncul kembali. Tatapan datar yang ajaibnya selalu menenangkan. Sosoknya jelas tergambar dalam benak. Seolah-olah ia tengah duduk di bawah langit yang sama. Mengenggam tangan tanpa suara sembari memperhatikanku yang tengah bercerita. Sesekali ia mengulum senyum sambil mendaratkan usapan di pipi. Masih tanpa suara. Dan dagu itu. Ah, dagu dengan segurat luka yang ia dapat di masa kecil menjadi magnet tersendiri. Membuatku ingin memandang wajahnya lebih lama. Lebih dalam setiap hari. Meski tanpa suara, meski tanpa kata, sungguh tak mengapa. Potongan ingatan itu diam-diam merangkai diri. Beratus kali kusanggah, beribu kali ia singgah. Membuatku susah bernapas. Lalu dengan cepat kembali kualihkan pandangan ke cangkir putih bermotif biru di hadapan. Satu tegukan terakhir sebelum beranjak pulang, bisikku.

Baru saja hendak bangkit meninggalkan meja, seseorang menepuk pundakku dengan lembut. Aku pun menoleh ke belakang. Seorang wanita tua berwajah teduh tengah berdiri di sana. Tingginya tak lebih dariku. Ia mengenakan terusan ungu bermotif bunga, sepadan dengan selendang berbentuk simpul yang ia sampirkan di leher. Rambut putihnya apik tersanggul membingkai wajah termakan usia. Ditatapnya aku dengan lembut.

Kaderinize bakmak ister misiniz?“[4] Ujarnya setengah berbisik.

Sesaat aku terdiam. Mencoba menelaah apa maksudnya. Bahasa itu masih saja asing ditelinga meski hampir setiap hari mendengarnya. Aku pikir ia ingin meramalku. Ramal. Seperti ramalan tarot atau bola kaca ala para gipsi itu? Ah, ramal. Aku terlalu lelah untuk diramal. Tidak malam ini. Baru saja hendak melontar kata, wanita itu menarik kursi dan duduk di sampingku. Dengan bingung aku menatapnya. Aku lelah. Aku hanya ingin segera pulang. Bola mataku menyorot enggan. Namun seolah tak perduli ia mengambil cangkir kopi yang tergeletak di atas meja. Dibaliknya cangkir mungil itu dengan mantap. Sepersekian detik saja lalu diperlihatkannya guratan ampas kopi tak beraturan itu.

“Hidupmu bagai labirin,“ ujar sang teyze dengan sunggingan senyum di bibir. Labirin. Kata itu terus terngiang di kepala. L-a-b-i-r-i-n. Tujuh huruf yang enggan pergi. Menutup hariku di jantung kota Istanbul, Turki malam itu.

***

            Sejak semula aku tahu akan menjadi seorang penulis. Ya penulis. Dengan mantap kudeklarkan cita-cita itu di saat usiaku belum genap delapan tahun. Di saat semua anak tengah sibuk menyusun lego dan bermain boneka, aku sibuk merangkai kata yang seringkali susah dibaca. Di saat semua anak terpesona dengan barbie dan koleksinya, mataku berbinar melihat ensiklopedia meski tak kupahami benar semua isinya. Di saat semua anak gemar menonton kartun dan tayangan minggu, aku berceloteh riang tak berkait tanpa hentinya. Dan disaat semua orang tak sanggup meladeni, entah bagaimana cadangan energiku selalu ada.

Kakek sering berujar bahwa temanku semasa kecil adalah mesin ketik tuanya. Dengan mesin itu aku mengetik beragam cerita saduran bobo, buku anak sampai hasil imajinasi. Semua karya kusimpan dalam kotak kaleng berwarna merah bersama potongan artikel berbagai negara. Lembaran kertas itu begitu berharga sampai-sampai ibu pun tak berani membuangnya. Kotak merahku tergolek aman di sudut meja. Membukanya dengan pandangan takjub adalah ritual tetap sebelum tidur. Bola mataku berputar lincah sembari menatap lama tiap lembaran. Meski kotak itu mulai berkarat, namun isinya terus bertambah. Satu per satu kuselipkan seperti doa. Akan kubuat berbagai cerita menembus dimensi ruang dan waktu. Membangun dunia imajinasi lantas menyelami setiap jengkalnya. Kotak merah itu adalah kunciku bertualang, batinku.

Ribuan kilometer jauhnya aku dari semua memori itu. Segala perkataan kini bukan sekedar impian. Petualangan telah kumulai dengan cepatnya. Menjejakkan kaki di berbagai tempat dan mengecap udara berbeda-beda. Kaleng merah itu pun selalu ikut bersama. Masih tergolek ia di sudut meja dalam ruangan yang kerap berganti rupa. Ia selalu ada menemani. Teman seperjalanan yang takkan bisa diganti. Berdua kami menjelajah bersama. Meski merahnya memudar tertutup karat, tak pernah ia mengeluh atau pun susah. Setia ia di sana. Menunggu untuk dibuka dan dijejali berbagai mimpi. Salah satu mimpi itu ada di kota ini. Kota yang menjadi rumah kedua sejak tiga tahun lamanya.

Aku jatuh cinta pada Istanbul. Cantiknya Mesjid Biru dan Hagia Sophia beserta rangkaian misteri di dalamnya, deretan pemancing pada tepian bosporus di bawah langit yang kerap berganti warna, aroma berbagai bumbu dan keju dalam Spice Bazar[5], kerlipnya Boğas Koprusu[6] yang menjadi penghubung dataran Istanbul Eropa dan Asia, serta riuhnya orang segala rupa yang mendiami kota ini bersama-sama. Istanbul adalah mini dunia, begitu aku selalu berujar.

Di luar semua keindahan itu hanya hembusan angin yang kerap membuat badan melayuku ini merinding. Terlebih lagi dua minggu terakhir menjelang pergantian musim. Warna langit kian muram menyelimuti bintang yang tertidur pulas. Sesekali hujan disertai relungan riuh. Seperti tiga tahun lalu, tepat di bulan ini. Segarnya angin menembus kulit dan menjalar cepat  menuju otak. Membangunkanku dari 15 jam perjalanan antar negara. Meski rambut-rambut halus di sekujur tubuh berdiri perlahan, kurentangkan tangan sembari tersenyum lebar. Merhaba Mustafa! Tantangku pada langit kala itu.

Istanbul adalah lanjutan hidup dari berbagai kota di belahan negara berbeda sebelumnya, setelah Maroco, Barcelona, dan New York. Untuk pertama kalinya dari semua petualangan itu aku menetap lama. Kota ini memiliki magnet tersendiri dengan segala umpan. Berbisik nakal mengajak tinggal. Keindahan yang tak hanya menampilkan rayuan namun menjelma menjadi kenyataan. Keindahan yang tak lagi hanya keseharian namun telah menjadi kehidupan. Melekat perlahan-lahan tanpa kusadar. Kota yang menawarkan seribu satu harapan.

***

            Tak seperti biasanya, seharian ini kuhabiskan dengan meringkuk di sudut sofa. Artikel mengenai Anadolu yang harusnya segera kukirim itu tergeletak begitu saja di atas meja, tak tersentuh. Beberapa kali dering ponsel memecah keheningan. Berdering berulang-ulang enggan kujawab. Aku yakin Peter, editorku pasti tengah memaki di seberang sana. Lelaki berperawakan mungil keturunan Scotlandia itu memang terkenal dingin dan perfeksionis. Tak jarang kudengar cerita akan kontributor asing yang bermasalah dengannya. Namun saat ini bukan sosok Peter yang terbaca. Bukan kawasan Timur Turki beserta suku Kurdi sebagai kelompok imigran terbesar yang ada di kepala. Bukan pula deadline yang sudah ada di depan mata. Bukan itu. Semua kosentrasi terserap begitu saja oleh selembar kertas yang tengah kudekap erat di dada.

Kertas itu kuning memudar. Terselip begitu lama dalam memori antar cerita. Tak pernah lagi kuingat tentangnya. Membatu, menunggu untuk dibuka. Pagi itu setelah menghabiskan dua pekan di luar kota, kumulai hari dengan membuka tirai dan duduk menghadap jendela. Kupandangi jalan di bawah sana dengan nikmat sembari menyeruput secangkir teh hangat. Matahari yang enggan bersinar tak menghalangi orang-orang beraktivitas. Lelaki tua berjaket tebal menjajakan simit[7], anak-anak sekolah beseragam hijau saling berkejaran, gadis muda bersepatu tinggi berperang melawan udara dan ibu-ibu berbalut scarf menggendong bayi semerah jambu. Semuanya kuperhatikan begitu detail tak terlewat. Dari studio miniku ini semua tertangkap dengan baik. Begitu hidup dan inspiratif.

Setengah jam duduk menatap lantas kualihkan pandangan ke sudut dinding. Lima belas menit menjelang tujuh. Dengan malas kuletakkan cangkir di atas tumpukan piring. Jangankan mencuci, akhir-akhir ini aku hampir tak sempat pulang ke rumah. Deretan liputan menanti dikerjakan. Sembari menyalakan monitor, aku buka lagi ulasan perjalanan dua minggu lalu. Kawasan Timur Turki menjadi bahasan utama edisi depan. Begitu eksotis tak terjamah. Shwan sang kontributor Amerika yang ikut mendampingi pun sungguh terpesona. Belum lagi berbagai gambar yang tertangkap dalam lensa. Pasti Peter akan puas dengan hasilnya, pikirku mantap.

Sambil mengulum senyum jemariku menggenggam mouse dan membuka kotak email di sudut layar. Kubaca dengan cepat deretan inbox itu. Sebagian besar adalah tumpukan pesan dari relasi, beberapa info jejaring maya, dan spams tak penting. Baru saja hendak menhapus, pandanganku terhenti pada sebuah pesan tanpa judul. Grey@gmail.com, nama sang pengirim. Kupandangi email itu dengan tanya. Asing. Kulihat tanggal yang tertera di layar, 2 November 2010. Dua minggu lalu di saat aku tengah meliput. Lantas kuputuskan untuk membuka dan membacanya dengan perlahan.

Apa kabarmu Rau?

            Begitu singkat dan tanpa koma. Kutelesuri kalimat itu dengan napas tertahan. Rau. R-a-u. Rasanya seseorang tengah memanggilku jauh dari masa lalu. Lama nama itu tak tersebut. Rau. Sejak bangku sekolah tak ada lagi yang mengenalku dengan nama itu. Rau. Berputar-putar di kepala. Membuka dimensi ruang dan waktu, seperti cerita-cerita yang pernah kutulis dulu. Siapa yang memanggilku? Siapa? Kucoba mengingat dan melompat jauh ke dalam. Rau.

Samar-samar terlintas seraut wajah. Menggenggam tangan sembari menatap hangat. R-a-u. Dengan cepat aku beranjak dari kursi. Seolah terbangun dari mimpi aku pun berlari menuju kamar. Kuambil kaleng merah berkarat yang ada di sudut meja. Kali ini tak ada pandangan takjub atau bola mata menatap binar. Tumpukan kertas kujatuhkan begitu saja. Tanganku mencari-cari sebuah cerita. Cerita yang kutulis di masa silam. Cerita dengan nama di dalamnya. Kubuka tiap lembaran dan membacanya dengan teliti. Bukan. Bukan cerita ini. Sembari mengumpulkan ingatan, tanganku mencari-cari dalam tumpukan. Terus-menerus tanpa henti. Dan…, itu dia. Selembar kertas kuning memudar dengan tulisan tanganku semasa kecil. Di bawahnya tertera sebait pesan dan pengirimnya.

            Jangan menangis lagi Rau.

            Pram.

***

            Umurku dua belas kala itu. Bersembunyi di balik tangga sambil menutup telinga. Berusaha menutup rapat meski tahu tak ada gunanya. Samar-samar terdengar ayah dan ibu melontar kata. Begitu lantang nyaris berdenging. Yang aku tahu mereka tidak tengah bersenda gurau. Tak ada canda dan tak mungkin tawa. Aku tahu, karena pemandangan itu normal bagiku. Begitu normal sampai kubosan melihat. Namun kali ini semua terjadi begitu cepat. Mereka saling mendorong dan menahan. Sekian detik saja lalu ibu pun pergi membawa tas meninggalkan ayah. Meninggalkan aku dan tak pernah kembali.

Sejak hari itu aku tinggal bersama kakek. Ayah hanya sesekali datang menjenguk. Ia tak pernah tinggal lama karena sibuk bekerja. Kakek berujar bahwa ayah dan ibu harus berpisah. Bukan karena mereka tak saling cinta, namun justru sebaliknya. Mereka harus berpisah karena tak mungkin hidup bersama. Ayah dan ibu saling mencinta dengan cara berbeda. Meski tak kupahami maksud kakek kala itu, namun aku mengangguk pilu. Aku berusaha tak menangis. Menahan bulir bening di sudut mata, lantas menenggelamkan diri menulis cerita.

Cerita itu kutulis dalam selembar kertas berwarna kuning. Cerita tentang keluarga kelinci di tengah hutan. Sang bapak gendut berkumis tebal, sementara ibu kelinci berparas cantik. Mereka hanya punya seroang anak, kelinci mungil berpita merah. Cerita itu kutulis sambil menangis. Kupaksakan diri terus menulis hingga tertidur menggenggam pena. Hanya pada Pram kuperlihatkan cerita itu. Pram yang selalu tahan mendengar semua celoteh. Pram yang tak pernah protes atau berlari menutup kuping. Hanya dia dan selalu dia yang tertinggal, duduk di bangku kelas mendengarkan. Menatapku tak bersuara sembari mengulum senyum.

“Pram ini cerita baruku. Judulnya kelinci berpita merah.”

Dengan antusias kutunjukkan cerita yang kutulis malam tadi. Seperti biasa Pram menatap diam.

“Ceritanya bagus. Kamu baca ya Pram,“ ujarku sembari menyodorkan selembar kertas padanya.

“Pokoknya kamu harus baca. Ba..ca…,” ujarku mulai menangis.

Aku menangis terisak-isak tak berhenti. Bulir mata yang semalam tertahan kini keluar tak terbendung. Masih dengan diam Pram mengambil kertas kuning itu. Lalu perlahan, digenggamnya tangan mungilku.

“Rau…jangan menangis, “ ujarnya sambil menatap hangat.

***

            Tiga hari berlalu sejak Pram mengirim pesan. Pesan singkat itu masih diam tersimpan dalam monitor tak terbalas. Aku mencoba melupakan dan menenggelamkan diri lewat tulisan. Artikel mengenai Anadolu kembali kukerjakan perlahan-lahan. Deadline yang semakin dekat sungguh memaksaku bekerja tanpa henti. Dering ponsel pun tak lagi hanya menjadi dering tak berarti. Kujelaskan pada Peter bahwa semuanya hampir selesai dan berjanji mengirimnya esok lusa.

Ditemani segelas susu hangat dan potongan biskuit kupandangi monitor putih itu tanpa henti. Jemariku bergerak cepat merangkai kata. Membangun dunia dalam wacana. Potongan-potongan gambar menambahkan warna tiap sudutnya. Wanita Kurdi paruh baya tertangkap dalam lensa. Bertubuh besar dan menggendong seorang balita. Di dekatnya berdiri sang anak tua. Bertiga mereka tinggal dalam sebuah rumah batu tampak begitu bahagia. Ah, Bahagia. Kata yang telah mengilang lama.

I want to take a break for a week,” ujarku pada Peter siang itu setelah menyerahkan liputan.

Dipandangnya aku penuh curiga sembari membetulkan letak kacamata mahalnya.

Why? Are you sick Rania?”

            “No…no…I’m fine. It just a freaking month and I need to go off for a while.”

Masih dengan tanya Peter menatap. Meski sebenarnya tak yakin diijinkan, namun tanpa jengah bola mataku lurus menyorot. Anehnya Peter yang selalu menjawab dingin tiba-tiba tersenyum simpul.

Ok…take care then!” Balasnya formal sembari menepuk pundak dan berlalu.

Cuti seminggu ini akan kuhabiskan di rumah saja, pikirku. Hanya ingin diam tak kemana-mana. Sekotak piza dan cola adalah temanku siang itu. Kukunyah dengan nikmat sembari menyalakan tv. Beberapa jam tak beranjak kupandangi ruang kecil persegi ini dengan acuh. Semua barang berserakan tak karuan. Dingin tak bertuan. Tergerak begitu saja aku pun lantas mengambil sapu dan  mulai membersihkan. Perabotan makan yang lama tak tersentuh kubilas hangat hingga mengkilat. Tumpukan buku yang tergolek di lantai kembali kuatur hingga membujur. Lembaran-lembaran cerita yang terjatuh kumasukkan ke dalam kaleng satu per satu. Dan kertas kuning…, tergelatak diam ia di situ. Kusentuh pinggirnya dengan lembut. Pram, bisikku lirih. Kubaca lagi rangkaian kata dan mengulangnya ibarat doa. Pram…, uajarku menutup mata. Menghempasnya.

Aku berlari menghindar. Menghindar berulang-ulang. Seperti yang senantiasa kulakukan. Semua petualangan itu, semua mimpi itu. Ah,  ingin rasanya lompat dan jatuh dengan ringan. Namun kali ini tak bisa kulihat arahnya. Kucoba gapai namun hampa. Kucoba raih tapi hilang berbuih. Meski begitu kupaksa kaki ini berlari hingga lelah. Kupaksa diri ini menjauh tak menyerah. Menjauh dari realita. Menjauh dari cinta.

Aku tak pernah ingat berapa kali kakek berujar soal kerasnya hatiku.

“Rania, cobalah untuk memaafkan,“ nasehatnya.

Namun enggan aku mendengar dan terus saja tenggelam semakin dalam. Aku tak percaya hal tak kasat mata. Seperti ayah dan ibu yang mencinta dengan cara berbeda. Semua itu tak ada. Semua itu tak nyata dan hanya dongeng belaka. Dengan cepat kertas kuning itu kuremat dan kulempar tanpa sadar. Aku pun bangkit menuju pintu. Mengambil mantel, mengenakan boot sekenanya lalu beranjak pergi. Menajuh terbang hingga menghilang. Samar-samar kudengar ibu melontar kata dan ayah yang membalasnya lebih hebat. Bunyi itu. Denging itu. Biarkan terhisap sampai lenyap. Kulangkahkan kaki tanpa tahu harus ke mana. Kuikuti saja rimanya tanpa arah. Kuikuti saja lajunya tanpa jengah hingga dihantarnya aku ke sebuah kedai di ujung Taksim.

 ***

            “Rau…“

“Rauu…“

Kudengar suara itu berbisik.

“Rauuu…“

“Rauuuu…“

Kali ini lebih panjang, terus menerus tanpa jeda. Meski gelap kucoba cari sumber datangnya. Ruangan ini adalah lorong-lorong panjang penuh sekat. Mencoba terus melangkah namun tak dapat. Tertahan aku begitu kuat. Meronta-ronta pun aku tak sempat. Dalam labirin aku terjerat.

Labirin. Mimpi yang sama di setiap malam sejak wanita itu meramalku. Dengan napas berat kupandangi langit-langit kamar bermotif dadu. Di antara sekian kotak itulah aku berada. Berputar-putar mencari jalan. Berputar-putar tanpa haluan. Seperti dulu ketika bermain di tengah taman. Taman itu begitu luas dengan deretan cemara berbentuk lingkar. Letaknya jauh dari rumah. Aku memilih tak bermain ayunan, tak juga papan jungkat-jungkitan. Riuh anak lain yang bersahutan bahkan tak menarik perhatian. Dengan asik kutatap buku bersampul coklat di genggaman. Lembarnya tebal penuh gambar. Berbagai negara dengan orang berbeda-beda. Seperti pelangi, celotehku sendiri. A-m-e-r-i-k-a. Ulangku terbata-bata. Meski kala itu belum kutahu benar di mana letaknya, mataku berbinar bahagia. Satu per satu nama negara itu kubaca. Kulang dengan perlahan sambil menatap takjub.

Tanpa terasa mentari tenggelam berganti bintang. Aku pun bangkit beranjak pulang. Namun cemara lingkar itu begitu tinggi hingga sulit melihat jalan. Setengah jam berputar-putar lalu terduduk lelah aku di ayunan. Memeluk buku bersampul coklat sambil mendongak menatap langit. Kakek pasti tengah resah mencari, desahku. Buku itu kubuka lagi. Pada lembar kelima lalu berhenti. Andai ada mesin waktu ijinkan aku terhisap jauh dan melompat dalam. Aku ingin pulang. Perlahan kudorong diri ke depan dan belakang. Mengayun dengan rima memecah malam. Tak jauh dari pandangan, kulihat seseorang datang mendekat. Sosok yang telah kukenal lama. Anak lelaki berambut ikal dengan kemeja sewarna langit. Berjalan lurus ia ke arahku dan berhenti tepat di hadapan.

“Sudah kubaca,“ ujarnya singkat sambil mengatur napas.

Dengan hati-hati diambilnya sebuah kertas dari dalam kantong dan diberikannya padaku. Kertas kuning itu kembali dalam genggaman. Aku yang selalu berceloteh panjang, kini menatap diam. Aku yang selalu punya bahan cerita, kini kehabisan kata. Tertunduk menahan malu. Tanpa suara lantas ia menarikku dengan lembut.

“Ayo pulang Rau.“

Begitu saja dan berjalan kami beriringan.

***

             Sejak duduk di bangku SMA tak ada lagi yang memanggilku Rau. Nama itu terkubur jauh. Hanya Rania Umaya. Hanya Rania. Entah kapan terakhir kalinya kulihat anak lelaki pendiam itu. Yang tertinggal cuma cerita setelah kepindahanku bersama kakek ke lain kota. Tanpa kabar, tanpa berita. Di sana kuhabiskan hidup mengejar cita. Selepas kuliah lantas aku pun mulai bekerja. Menulis paruh waktu hingga akhirnya mendunia.

Di sela cerita itu silih berganti pria hadir menawarkan cinta. Berganti rupa mereka tak terkira. Tak pernah ada yang mengena hanya hiburan saja. Begitu berulang-ulang sampai jengah. Seperti dering ponsel yang tak henti-hentinya di sudut meja. Kupandangi layar dengan enggan. 25 New Messages. Sudah bisa dipastikan isi dan pengirimnya tanpa perlu melihat. Pesan yang harusnya kujawab dan tak menumpuk hampa. Puluhan panggilan yang semestinya kuangkat dan tak sia-sia.

Where have you been Rau? I miss u.

            Kubaca kalimat itu dengan muram dan lantas diam menghapus. Sejak kepulanganku ke Istanbul belum ada satu pun kabar yang kukirim padanya. Pada lelaki Polandia yang kukenal ketika tengah meliput di kawasan tengah Turki, Kapadokia. Ia adalah seorang seniman. Datang ke Istanbul tujuh tahun lalu untuk mendalami seni keramik. Selalu santai dan menikmati hidup. Begitulah Roman di mataku, kekasih selama dua tahun ini.

Roman yang perlahan masuk mencoba tawarkan cinta. Melompat ia melewati batas lalu menarik sekuat tenaga. Roman yang tak jarang membuatku lupa akan hidup, begitu mudahnya. Dan Roman yang membuatku bahagia lantas kecewa pada saat yang sama. Entah berapa kali ia coba melamar. Berusaha memberi janji enggan kudengar. Aku tak ingin menikah, jawabku singkat. Tak ingin dan tanpa koma. Namun Roman tak pernah mengerti. Tak dapat ia memahami. Betapa pun kersanya mencoba, tak juga kutemukan titik tengahnya. Bersamanya aku merasa berputar-putar. Bersamanya tidak dapat kutemukan jalan keluar. Roman dan aku hanya bertengkar tak mengakar.

***

            Inilah saatnya, bisikku pelan. Meski takut, aku tak boleh lagi mundur menghindar. Di hari terakhir sebelum kembali bekerja kutatap wajah melayu itu di cermin. Bola mata yang kerap menyorot curiga kini berpendar lebih jelita. Muka bundar tanpa bedak kubiarkan natural saja. Lantas rambut hitam yang sering terjepit kali ini tergerai menutup pundak. Sementara sunggingan senyum yang lama tertidur dengan malu-malu ia tersembul.

Untuk terakhir kalinya kutatap studio ini. Tak semua barang kubawa pergi, kubiarkan sebagian tertinggal dengan kenangan. Rasanya baru kemarin kutantang langit sambil merentang tangan. Duduk di tepian Bosporus dan memandang jauh. Jauh tanpa batas mempertanyakan. Aku berusaha menerka-nerka akhir jawaban, namun tak dapat jua kutemukan. Ternyata ia ada di sana. Tersimpan rapat dalam memori. Lama menanti hingga terbuka.

Selintas kualihkan pandangan ke arah Layar. Layar dengan sebuah pesan yang tak lagi hanya diam terpendam. Layar dengan sebuah nama yang takkan lagi terlupa. Pesan itu akhirnya telah kujawab semalam. Bersama dua pesan lain untuk dua laki-laki berbeda. Peter yang mungkin membaca dengan tatapan dingin dan Roman yang terluka. Aku hanya berusaha membuat sebuah keputusan. Keputusan yang tengah kucoba percayai ujungnya. Dengan baju sewarna langit kudekap kotak merah berkarat itu di dada. Melangkah pelan dari labirin ke arahnya. Pram, aku pulang.

**

[1] Panggilan untuk wanita yang lebih tua dalam bahasa Turki.
[2] Permainan black damon.
[3] Alat musik tradisional Turki serupa gitar berukuran mini.
[4] Apakah anda ingin diramal?
[5] Tempat wisata yang menjual beraneka macam bumbu dan souvenir khas Turki.
[6] Jembatan Bosporus.
[7] Roti khas Turki dengan taburan wijen berbentuk cincin.