Kumpulan Hadits untuk Perlombaan Maulid Nabi SAW

Oleh: Fuzna Zakarya
TheologyMarmara University

Tanggal menulis: Jumat, 27 April 2012

***

1.

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا  مِنِّي دِمَاءُهُمْ وَأَمْوَالُـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالى

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta  mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah Subhanahu wata’ala.

2.

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.

3.

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya

4

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه

Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.

5.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya

6

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik

7.

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.

8.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.

9.

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka.

10.

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

Iman mempunyai lebih dari enam puluh cabang. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman.

11.

لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ من كان فى قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong, walaupun hanya sebesar atom.

12.

اِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيْثِ

Hendaklah kamu menjauhkan dari sangkaan, karena sesungguhnya sangkaan itu omongan yang paling berdusta.

13.

اِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ ياء كل الحَسَنَاتِ كَمَاتَاءْ كُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Takutlah kamu terhadap akibat hasud, sebab hasud itu dapat memakan (menghilangkan) semua kebaikan, seperti makannya api terhadap kayu bakar.

14.

كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَتَصَدَّقْ فِى غَيْرِ سَرَفٍ وَلاَ مَحِيْلَةٍ

Makan, minum, dan berpakaianlah serta bersedekahanlah dengan tidak lebih berlebihan dan bukan tujuan sombong

15.

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa membawa pedang untuk menyerang kami, maka dia bukan dari golongan kami. Dan barang siapa menipu kami, maka dia bukan golongan kami.

16.

لاَ يِزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمَنٌ

Pezina tidak berzina ketika ia berzina sedang ia dalam keadaan mukmin; pencuri tidak mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam keadaan mukmin; dan orang tidak minum minuman keras ketika ia meminumnya sedang ia dalam keadaan beriman.

17.

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقْرَؤُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ

Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang: orang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang dan orang yang diberikan Al-Qur`ân oleh Allah kemudian ia membacanya di pertengahan malam dan pertengahan siang.

18.

لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا

Janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih, lalu binasa.

19.

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring.

20.

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَب

Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.

21.

طَلَبُ اْلعِلْمَ فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat.

22.

أَلاَ، وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh dan jika rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.

23.

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لله حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan puasanya dari makan dan minum.

24.

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

Apabila di hari salah seorang kalian berpuasa, maka janganlah dia berkata kotor dan gaduh, jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaknya dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.

25.

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak didasari oleh Agama kami, maka amal tersebut tertolak.

26.

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوْضَعُ فِي أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَةٌ يَغْلِي مِنْهَا دِمَاغُهُ

Sesungguhnya azab yang paling ringan yang menimpa penduduk neraka pada Hari Kiamat adalah apabila bara api diletakkan di lekuk kedua telapak kaki seseorang, maka otaknya akan mendidih.

27.

ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ

Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.

28.

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.

29.

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.

30.

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.

Pemerintah yang ‘Cacat’

Oleh: Wibisono Bagus Nimpuno
Postgraduate Urban Design Program, Istanbul Technical University

Tanggal menulis: Senin, 26 Maret 2012

***

Hidup merupakan anugerah yang terindah dari Allah SWT. yang kita miliki, sebagian orang dilahirkan dengan fisik yang sempurna, hanya beberapa orang yang kurang beruntung yang tidak memiliki kesempurnaan itu. Namun, bukan berarti mereka tidak lebih baik dari kita, bahkan terkadang mereka jauh lebih baik dari kita.Sebutan ‘cacat’ sebisa mungkin kita hindari untuk menyebut teman-teman kita yang memiliki ‘perbedaan’ tersebut, kita menggunakan terminologi ‘difable’ atau different ability untuk menyebut mereka yang memiliki perbedaan tersebut.

Orang difable dilarang jalan-jalan, kerja, atau sekedar menikmati fasilitas publik di Indonesia. Ketika semua negara maju dan berkembang telah memberikan kesempatan bagi warganya yang difable untuk ikut serta dalam pembangunan dan ‘menikmati’ kotanya, di Indonesia perhatian untuk mereka belum ada sama sekali (menurut saya). Pemerintah seolah ‘cacat’ hatinya untuk banyak memberikan perhatian kepada para difable, apa yang mereka bangun (yang katanya) untuk kenyamanan para difable, nyatanya hanyalah tipuan yang menghambur-hamburkan uang. Seolah mereka akan rugi kalau menyediakan fasilitas untuk difable yang minoritas di Indonesia.

Beberapa bangunan publik memang sudah ‘pro’ terhadap difable, namun masih kurang. Mereka hanya menyediakan toilet untuk mereka, bagaimana dengan akses lingkungan? Tangga? Elevator? Di lingkungan ‘urban’ pemerintah lebih parah lagi. Mereka hanya membuat tipuan-tipuan mata dan kekonyolan serta penghamburan uang. Sebagai kasus di ibukota, halte busway misalnya. Mengapa menggunakan ramp yang berkelok-kelok untuk mengaksesnya? Tujuannya adalah untuk mengakomodir pengguna kursi roda (katanya, dari sumber yang pernah saya dengar). Konyol Yang pernah menggunakan jalur busway pasti tahu, jangankan pengguna kursi roda, orang sehat saja terengah-engah untuk melintasi jalur tersebut. Kasus lain adalah ‘difable pathway’, kita tahu keramik kuning yang memiliki tekstur diatasnya, bertujuan sebagai penunjuk arah bagi tunanetra. Di Indonesia saya melihat ada di Jogja, pedestrian Malioboro, namun sekarang sudah tertutup oleh lapak-lapak dagangan. Di Semarang juga baru dibangun sebagai ‘pencitraan’ walikota yang baru agar ‘pro’ difable, namun kenyataannya hanya disatu jalur pedestrian saja (dan sudah rusak belum ada setahun). Sebagian besar, jalur tersebut tidak menerus (seolah ingin memberi kejutan/ mengaja ktebak-tebakan para pengguna jalur tersebut).

Banyak kasus lainnya, seperti sarana transportasi yang tidak ‘difable’wi (ada manusiawi), penggunaan simbol-simbol difable, huruf Braille, dsb. Pemerintah seolah menutup mata terhadap mereka. Tidak perlu melihat ke Amerika yang secara negara sudah terbentuk, kita lihat keTurki, yang sama-sama negara berkembang. Begitu nyamannya hidup para difable disini. Semua terjamin, tidak hanya dari asuransi pemerintah, namun juga sarana publik yang berhak mereka nikmati. Bahkan ada petugas jaga yang sigap untuk mengantar mereka, suatu hari ketika saya naik metro di Taksim adas eorang tunanetra keluar dari kereta sambil jalan tak menentu, kemudian ada seorang sukarelawan yang membantunya menunjukkan jalan, tak selang berapa lama seorang petugas security menghampiri, dan mengatakan biar saya yang antar. Di Indonesia kesadaran semacam itu belum ada nampaknya.

Sebagai catatan, ada banyak hal yang perlu diperhatikan untuk membuat kota yang nyaman bagi difable. Ada standar-standar khusus, sarana khusus seperti telefon umum bagi difable, kamarmandi bagi difable, alarm, ramp atau jalan miring bagi pengguna kursi roda, semua bisa dilihat di situs ADAAG (America with Disability Act Accessibility Guidelines), ini memang standar di Amerika, namun tidak beda jauh untuk diterapkan di negara manapun.

Pemerintah, sebagai institusi paling bertanggung awab (menurut saya) terhadap masalah ini, sebagai pengatur kebijakan publik dan penyedia sarana publik yang nyaman bagi semua warganya. Selain pemerintah, tentu kita sebagai ‘orang’ (homo homini lupus) juga memiliki tanggung jawab juga. Faktanya memang sudah banyak program di tingkat nasional maupun ASEAN untuk mereka para difabel, namun hanya sebatas penggembira saja (nampaknya), gaungnya tidak terdengar setelah beberapa waktu kemudian.

Hendaknya setiap orang, entah itu pembuat kebijakan, perancang, atau pelaksana menempatkan dirinya sebagai orang minoritas. Jangan merasa kesempurnaan yang kita miliki akan bertahan lama, semua akan kembali kepada Allah SWT. Selama kita masih diberi kesempurnaan itu, berjuanglah untuk teman-teman kita yang difable, saya yakin mereka sedang menunggu kita dan mereka berharap diperlakukan sama seperti kita.

Salam.

Waspada Sebelum Gempa

Oleh: Citra Chergia
Civil Engineering, Istanbul Technical University

19 Maret 2012

Berkesempatan untuk menuntut ilmu di Istanbul boleh jadi merupakan salah satu kebanggaan dan pengalaman indah bagi para pelajar dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Indonesia. Istanbul adalah kota cantik nan unik, terutama karena letaknya berada di dua benua, Eropa dan Asia. Sayangnya, letak Istanbul berdekatan dengan Patahan Anatolia Utara, salah satu zona gempa bumi paling rawan sedunia. Kota ini sudah mengalami berbagai ujian gempa semenjak berabad-abad yang lalu, bahkan di tahun 1509 gempa berhasil memancing tsunami dan membinasakan lebih dari 10.000 orang. Salah satu contoh gempa dahsyat lainnya terjadi pada tahun 1999 dan menewaskan 17.000 orang meskipun pusat gempa berkekuatan 7,6 skala Richter tersebut berada di Izmit, kota yang berjarak 100 km dari Istanbul[1]. Gempa bagaikan ujian rutin (bahkan tahunan) bagi kota ini. Yang mengkhawatirkan adalah prediksi para ahli seismologi mengenai peluang Istanbul dihantam gempa sangat dahsyat dengan kekuatan 7 skala Richter atau lebih dalam kurun waktu 25 tahun, sekitar tahun 2030 [2][3]. Meskipun kota yang dulu bernama Konstantinopel ini sudah mulai diberi amunisi gedung dengan struktur tahan gempa, namun tetap saja masih banyak gedung-gedung yang sudah terlanjur dibangun dengan kekuatan struktur yang tak tahan gempa dan belum diperbaharui. Oleh karena itu, kewaspadaan akan gempa patut dipupuk sedari kini.

I. Sebelum Terjadi Gempa
A. Kunci utama

  1. Membekali diri dengan pengetahuan mengenai gempa.
  2. Memastikan bahwa struktur dan letak tempat tinggal Anda dapat terhindar dari bahaya yang disebabkan oleh gempa (contoh: longsor).
  3. Mengevaluasi dan merenovasi ulang struktur bangunan tempat tinggal Anda agar terhindar dari bahaya gempa bumi.

 

B. Kenali lingkungan tempat Anda belajar/bekerja dan tinggal

  1. Mengidentifikasi letak pintu, lift, serta tangga darurat, supaya bila terjadi gempa, Anda sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung.
  2. Belajar melakukan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).
  3. Belajar menggunakan alat pemadam kebakaran.
  4. Mencatat nomor telepon penting yang dapat dihubungi bila terjadi gempa bumi.

C. Persiapan rutin di tempat Anda belajar/bekerja dan tinggal

  1. Perabotan besar dan berat (contoh: lemari) diatur menempel pada dinding (contoh: dipaku/diikat) agar tidak terjatuh atau menimpa bila terjadi gempa bumi.
  2. Menyimpan bahan yang mudah terbakar di tempat yang aman, agar terhindar dari kebakaran.
  3. Selalu mematikan air, gas, dan listrik apabila sedang tidak digunakan.

D. Penyebab kecelakaan yang paling banyak terjadi pada saat gempa bumi adalah akibat tertimpa benda, oleh karena itu berikut adalah hal-hal yang perlu Anda lakukan:

  1. Mengatur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah.
  2. Mengecek kestabilan benda tergantung (contoh: lampu) yang dapat jatuh pada saat gempa bumi terjadi.

E. Peralatan yang harus ada disetiap tempat

  1. Kotak P3K.
  2. Senter/lampu baterai.
  3. Alat komunikasi.
  4. Simpanan makanan dan air (untuk keadaan darurat).

 

II. Ketika Terjadi Gempa

A. Jika Anda berada di dalam bangunan

  1. Mencari tempat yang paling aman dari reruntuhan goncangan.
  2. Melindungi kepala dan badan Anda dari reruntuhan bangunan (contoh: bersembunyi di bawah meja yang kokoh). Hampir semua orang yang hanya “menunduk dan berlindung” pada saat bangunan runtuh meninggal karena tertimpa runtuhan. Orang-orang yg berlindung di bawah suatu benda yg tidak kokoh akan remuk badannya. Berusahalah jangan panik dan pikirkan tempat yang aman untuk berlindung bila terjadi gempa dari sekarang, terutama bila posisi anda dalam ruangan (rumah/tempat kerja). Bila anda berada di ruang belajar/kerja, ruangan  kosong (ruangan yg tdk dipenuhi runtuhan barang, aman untuk berlindung) yang besar dapat pula ditemukan di sekitar tumpukan kertas-kertas. Secara sederhana saat bangunan runtuh, langit-langit akan runtuh menimpa benda atau furniture sehingga menghancurkan benda-benda, namun akan menyisakan ruangan kosong. Semakin besar bendanya, maka semakin kuat benda tersebut dan semakin kecil kemungkinan untuk remuk. Semakin sedikit remuk, semakin besar ruang kosongnya, semakin besar kemungkinan untuk orang yang berada di tempat tersebut untuk selamat dari  luka-luka.
  3. Bayi, kucing, dan anjing biasanya mengambil posisi meringkuk secara alami. Itu juga yang harus anda lakukan pada saat gempa. Ini adalah insting alami untuk menyelamatkan diri. Anda dapat bertahan hidup dalam ruangan yang sempit. Ambil posisi di samping suatu benda, di samping sofa, di samping benda besar yang akan remuk sedikit tapi menyisakan ruangan kosong di sebelahnya. Jika terjadi gempa dan anda tidak dapat keluar melalui jendela atau pintu, maka berbaringlah meringkuk di sebelah sofa atau kursi besar.
  4. Bangunan dari kayu adalah tipe konstruksi yang paling aman selama gempa bumi. Kayu bersifat lentur dan bergerak seiring ayunan gempa. Jika bangunan kayu ternyata tetap runtuh, banyak ruangan kosong yang aman akan terbentuk. Disamping itu, bangunan kayu memiliki sedikit konsentrasi dari bagian yang berat. Bangunan  dari batu bata akan hancur berkeping-keping. Kepingan batu bata akan mengakibatkan luka badan tapi hanya sedikit yang meremukkan badan dibandingkan beton bertulang.
  5. Jika anda berada di tempat tidur pada saat gempa terjadi, bergulinglah ke samping tempat tidur. Ruangan kosong yang aman akan berada di samping tempat tidur. Perlu anda ketahui, bila anda berada dalam hotel yang peduli dengan HSE (Health, Safety, Environment) biasanya ditempelkan peringatan di belakang pintu agar tamu-tamu berbaring di lantai di sebelah tempat tidur jika terjadi gempa. Disamping itu, Doug Copp, the rescue Chief and Disaster Manager of the American Rescue Team International, mengungkapkan bahwa ketika bencana besar terjadi “segitiga kehidupan” merupakan ruangan diantara (atau disamping) benda besar adalah tempat berlindung teraman. Hal ini dikarenakan berat benda besar sekitar (contoh: meja, kursi, tempat tidur, dll) akan menahan runtuhan langit-langit dan bangunan/tembok, serta membuat tempat kecil yang akan terlindung dari jatuhnya reruntuhan.
  6. Jangan berdiri di dekat pintu. Hampir semua orang yang berada di belakang pintu pada saat bangunan runtuh akan meninggal. Mengapa? Jika anda berdiri di belakang pintu dan pintu tersebut rubuh ke depan atau ke belakang anda akan tertimpa langit-langit di atasnya. Jika pintu tersebut rubuh ke samping, anda akan tertimpa dan terbelah dua olehnya. Dalam kedua kasus tersebut, anda tidak akan selamat!
  7. Jangan pernah lari melalui tangga!!! Tangga memiliki “momen frekuensi” yang berbeda (tangga akan berayun terpisah dari bangunan utama). Tangga dan bagian lain dari bangunan akan terus-menerus berbenturan satu sama lain sampai terjadi kerusakan struktur dari tangga tersebut. Orang-orang yang lari ke tangga sebelum tangga itu  rubuh akan terpotong-potong olehnya. Bahkan jika bangunan tidak runtuh, jauhilah tangga. Tangga akan menjadi bagian bangunan yang paling mungkin untuk rusak. Bahkan jika gempa tidak meruntuhkan tangga, tangga tersebut akan runtuh juga pada saat orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Tangga tetap harus diperiksa walaupun bagian lain dari bangunan tidak rusak. Bila gempa tersebut ringan, dan anda berada di lantai atas bangunan, maka keluarlah dari bangunan tersebut dengan menggunakan tangga darurat setelah gempa berakhir. Gempa akan bergoyang selama beberapa detik atau menit (tidak akan lama). Namun jangan menggunakan tangga darurat ketika terjadi gempa!
  8. Berdirilah di dekat dinding paling luar dari bangunan atau di sebelah luarnya jika memungkinkan. Akan lebih aman untuk berada di sebelah luar bangunan daripada di dalamnya. Lebih aman lagi bila anda menyelamatkan diri ke lapangan terbuka.

B. Jika Anda berada diluar bangunan atau area terbuka

  1. Menghindari bangunan (contoh: gedung, tiang listrik) dan pohon yang ada disekitar Anda.
  2. Memperhatikan tempat Anda berpijak dengan menghindari apabila terjadi retakan tanah.

 

C. Jika Anda sedang mengendarai atau berada di dalam kendaraan

  1. Hentikan segera kendaraan Anda di tempat yang aman dan tetap berada di dalam kendaraan. Orang-orang yang berada di dalam kendaraan akan tertimpa jika jalanan di atasnya runtuh dan meremukkan kendaraan. Ini yang ternyata terjadi pada lantai-lantai jalan tol Nimitz. Korban dari gempa bumi San Fransisco semuanya bertahan di dalam kendaraan mereka & meninggal. Mereka mungkin dapat selamat dengan keluar dari kendaraan dan berbaring di sebelah kendaraan mereka. Semua kendaraan yang hancur memiliki ruangan kosong yang aman setinggi 1 meter di sampingnya, kecuali kendaraan yang tertimpa langsung oleh kolom jalan tol.
  2. Hindari berhenti di dekat atau di bawah bangunan, pohon, jembatan layang dan jaringan listrik.

D. Jika Anda tinggal atau berada di dekat pantai, jauhi pantai untuk menghindari terjadinya tsunami
E. Jika Anda tinggal di daerah pegunungan, apabila terjadi gempa, hindari daerah yang memungkinkan terjadinya longsor.

III. Setelah Terjadi Gempa

A. Jika Anda berada di dalam bangunan

  1. Keluar dari bangunan tersebut dengan tertib.
  2. Jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakanlah tangga biasa.
  3. Periksa apa ada yang terluka. Bila ada yang terluka, berikan P3K.
  4. Minta pertolongan apabila terjadi luka parah pada Anda atau orang-orang di sekitar Anda. Bila sinyal normal, gunakanlah peralatan komunikasi yang Anda miliki.

B. Periksa lingkungan sekitar Anda

  1. Periksa apabila terjadi kebakaran dan kebocoran gas.
  2. Periksa arus pendek.
  3. Periksa aliran dan pipa air.
  4. Periksa segala hal yang dapat membahayakan.
  5. Mematikan listrik dan tidak menyalakan api.

C. Jangan masuk ke bangunan yang sudah terjadi gempa, karena kemungkinan masih dapat terjadi runtuhan
D. Jangan berjalan disekitar daerah gempa, karena kemungkinan terjadi gempa susulan masih ada
E. Mencari tau tentang informasi mengenai gempa susulan melalui alat komunikasi bila sinyal memungkinkan
F. Mengisi angket yang diberikan oleh instansi terkait untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang terjadi
Manusia hanya dapat berusaha, Tuhan yang menentukan, maka janganlah lupa untuk selalu berdoa.

Daftar Pustaka:
[1] Revkin, A. C. (24 February 2010). “Disaster Awaits Cities in Earthquake Zones”The New York Times.
[2] Parsons, T., Toda, S., Stein, R. S., Barka, A., Dieterich, J. H. (2000). “Heightened Odds of Large Earthquakes Near Istanbul: An Interaction-Based Probability Calculation”. Science 288 (5466): 661–5.
[3] Traynor, Ian (9 December 2006). “A Disaster Waiting to Happen – Why a Huge Earthquake Near Istanbul Seems Inevitable”The Guardian (UK).
Indonesian Meteorological and Geophysical Agency, Indonesian National Board for Disaster Management.

 

 

Jiwa Kemerdekaan Anak Muda Ketika Tidak Berada Di Tanah Air

Oleh: Medy Kesuma Putra
Mathematics Engineering – Istanbul Technical University

19 Maret 2012

Foto ini saya bidik 2 tahun yang lalu ketika saya tidak dapat mengikuti upacara kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2010 yang dilaksanakan di Wisma KBRI Ankara.

Waktu itu saya sedang merayakan hari kemerdekaan RI di rumah teman, mengingat hari kemerdekaan di Indonesia sebagai tanda hormat kepada Tanah Air, semua pekarangan rumah di Indonesia mengibarkan bendera merah putih. Saya pun sebagai bangsa Indonesia ingin menghormati kemerdekaan RI dengan mengibarkannya di teras rumah. Karena tidak mempunyai bendera Indonesia maka saya gantungkan baju jemuran yang berwana merah dan putih.

Image

Semoga jiwa Ibu Pertiwi kita tidak lepas ketika kita diharuskan keluar dari Tanah Air untuk menuntut ilmu di negara lain.

Salam Indonesia!

Cara Belajar Dengan Jitu

Oleh: Citra Chergia
Civil Engineering, Istanbul Technical University
Tanggal menulis: 15 Maret 2012

Apa kabar, wahai teman-teman pelajar? Sudah mulai pusing tujuh keliling dengan seabreg pelajaran, tugas, dan ujian? Nikmatilah bumbu-bumbu utama dunia kemahasiswaan ini, selagi bisa, karena nanti kita pasti akan merindukannya. Saya menemukan sumber-sumber bagus mengenai tips belajar dengan jitu dan mengolaborasikannya dengan pengalaman pribadi. Saya yakin, setiap orang memiliki tips tersendiri, namun saya berharap dengan membaca dan mempraktikan tips di bawah ini, kalian dengan sukses dapat lebih mengerti intisari pelajaran yang diambil, mendapatkan nilai yang terbaik, dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh pada masa yang akan datang.

Bila kita flashback, pada awalnya, ketika memilih jurusan kita tentu sudah bertanya pada diri sendiri, “Saya mau menjadi apa ya?” Setelah kita mendapat jawabannya, kita pun mulai mencari informasi mengenai jurusan yang kita tuju dan berkonsultasi dengan orang-orang terdekat serta orang-orang yang tepat. Namun ketika kita melihat silabus mata kuliah, muncul pikiran negatif berupa kekhawatiran atau rasa tidak suka pada pelajaran A, B, atau C. Pada kenyataannya universitas tempat kita menimba ilmu telah menyusun pelajaran-pelajaran yang wajib diambil, dan pelajaran-pelajaran yang dapat kita pilih. Terkadang kita pun bingung mau memilih yang mana karena minimnya pengetahuan tentang isi pelajaran-pelajaran pilihan tersebut. Nah, kalau sudah seperti ini, kembali saja ke cara kita memilih jurusan seperti dahulu. Pilihlah pelajaran yang kita minati. Kalau kita minat dan suka, maka pedekate untuk mencapai tujuan (mengerti, mendapatkan nilai yang terbaik, dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh pada masa yang akan datang) akan terasa fun dan tidak terpaksa.

Belajar merupakan suatu proses untuk mencari tahu, mengerti, dan mencapai hasil yang optimal. Setiap orang memiliki prinsip berbeda-beda dalam belajar. Ada yang berprinsip ‘semakin banyak belajar, semakin pintar’. Ada pula yang berprinsip ‘semakin banyak belajar, semakin banyak lupa’. Belajarlah dengan cerdas dan efektif. Belajarlah hingga kita yakin bahwa apa yang kita pelajari telah kita mengerti secara menyeluruh, bukan mengerti samar-samar. Belajarlah dari sumber yang tepat dan terpercaya. Proses belajar mahasiswa biasanya dimulai dari mendengarkan penjelasan dosen di dalam kelas, lalu diikuti dengan belajar di luar kelas untuk mereview pelajaran dan mempersiapkan ujian, mengerjakan tugas, hingga menghadapi ujian.

Ketika Belajar di Dalam Kelas

  • Berusahalah masuk kelas lebih awal, atau paling tidak masuk kelas tepat waktu. Bunuhlah rasa kantuk di pagi hari (bila ada kelas pagi), rasa ingin bobo siang (bila ada kelas di siang hari), rasa malas keluar kalau sudah gelap (bila ada kelas petang ataupun malam), atau rasa ingin ketemu dan jalan-jalan bersama gebetan (bila ada kelas di akhir pekan). Percayalah bahwa dosen tidak akan bosan bila melihat wajah kita ketika beliau masuk kelas. Tunjukkanlah bahwa anak-anak Indonesia adalah generasi yang disiplin dan rajin.
  • Berusahalah membuat diri kalian dikenal oleh dosen, tentunya dikenal dalam hal yang positif. Aktif di dalam kelas ketika dosen bertanya atau meminta opini muridnya dengan menjawab dan menyampaikan tanggapan. Pastinya jangan asal memberikan jawaban atau opini, karena nantinya akan seperti ‘tong kosong’, berbicara tapi tidak ada isinya. Nah, maka dari itu, berusahalah untuk mencari tahu dengan membaca sebelum masuk kelas.
  • Mencatat dengan tangan (bukan mencatat di HP yaa, karena nanti salah-salah malah bisa disangka sibuk SMS-an) merupakan penolong setia yang membantu otak kita menangkap dan mengingat apa yang dijelaskan oleh dosen. Berusahalah mencatat meskipun dosen sudah memberikan materi perkuliahan yang kelihatannya super lengkap. Mencatat juga merupakan aktivitas penghapus rasa kantuk dan jemu ketika di kelas.
  • Janganlah memenuhi halaman bahan kuliah atau buku kalian dengan stabilo atau garis bawah, karena ini hanya akan membuat bingung dan sulit untuk dimengerti. Buatlah catatan kecil di sisi bagian yang kosong dan tandai hal-hal penting dengan jelas dan mudah dimengerti.

Ketika Belajar di Luar Kelas

  • Belajar memang membuat kita penasaran dan memancing kita untuk membaca dan mencari tahu. Banyak orang yang meyakini bahwa tempat terbaik untuk belajar ketika di luar kelas adalah di perpustakaan, apalagi bila perpustakaannya super nyaman dan dilengkapi dengan akses internet cepat dan sofa-sofa empuk. Godaan ini membuat jejeran rak-rak buku Nampak tidak menarik untuk dilirik. Kita pun lebih tergoda untuk membaca status teman-teman di facebook, twitter, atau blog dan situs lainnya, dibandingkan mendownload artikel jurnal. Keluarlah dari perpustakaan bila gejala ini kalian hadapi. Lebih baik belajar di tempat tinggal kalian. Kalau lapar, bisa makan seenaknya; kalau suntuk, bisa menyegarkan dan mewangikan diri dengan mandi. Berikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengetes diri saat mencuci rambut, menyikat gigi atau mengaduk-aduk teh. Namun bila kalian dapat lebih efektif belajar di perpustakaan, maka manfaatkan fasilitas di perpustakaan dengan tepat. Dimanapun itu, pilihlah tempat belajar yang kondusif.
  • Rajin-rajinlah mengulang pelajaran. Rajin dalam artian porsinya sedikit-sedikit, namun rutin. Ibarat pepatah, ‘sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit’. Sedikit membaca Bab I dan mengerjakan 5 latihan soal, lalu lanjut nonton film, berolahraga, main games, atau bersantai dengan teman-teman. Besoknya, pindah membaca Bab II dan mengerjakan 5 latihan soal lainnya. Ingat, hidup itu harus seimbang, termasuk menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan. Jangan pernah berpikir untuk belajar dengan ‘sistem kebut semalam’.
  • Menjalin kerja sama dengan teman itu sangatlah baik, namun bukan kerja sama untuk contek-mencontek dikala ujian. Mintalah bantuan teman untuk menjelaskan apa yang tidak kalian mengerti (jangan gengsi bila memang belum paham); mengingatkan supaya kita ngga main games di laptop; atau kelamaan chatting di BBM atau di Whatsapp sama si doi.
  • Bila kalian belum memahami akan sesuatu yang kalian yakini akan muncul di ujian, maka cari tahulah dengan membaca buku dan jurnal, bertanya ke dosen atau asisten dosen, berdiskusi dengan teman, atau mencari tahu melalui internet.
  • Kerjakanlah seluruh latihan soal, karena biasanya apa yang keluar di ujian tidak jauh-jauh (serupa tapi tak sama) dari latihan soal ataupun tugas yang diberikan.
  • Belajar itu identik dengan hapalan. Seluruh pelajar, dari yang mahasiswa jenius sampai mahasiswa yang sering bolos kuliah, patut menghapal rumus, isi teori, nama, tanggal, dan lainnya. Oleh karena itu, kalian perlu menghapal secara efektif. Bagaimana caranya? Apakah dengan cara menuliskan hal-hal penting di telapak tangan, menempel post-it notes di tembok atau bagaimana ya? Cara menghapal dengan efektif adalah dengan membuat daftar hapalan, lalu membacanya sambil mengucapkan apa yang tertulis di daftar hapalan itu, beri jeda waktu, dan tes diri kalian. Cara mengetes adalah dengan menulis kembali apa yang sudah dihapal, kemudian cocokkan dengan daftar hapalan; atau dengan meminta tolong teman untuk menanyakan hal-hal yang sesuai dengan daftar hapalan. Cara lain untuk menghapal adalah dengan membuat singkatan-singkatan unik yang mudah diingat, misalnya yang paling sederhana adalah singkatan warna pelangi (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu). ‘MeJiKuHiBiNiU’ akan lebih mudah diingat daripada menyingkat dengan ‘mjkhbnu’.
  • Jadilah pembaca yang cerdas, bukan pembaca yang seperti robot. Tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang penulis ingin buktikan? Apakah argumen sang penulis itu sudah tepat? Mengapa begini, mengapa tidak begitu?” Biasanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu dapat ditemukan jawabannya di bagian pendahuluan dan kesimpulan pada masing-masing bab. Kemudian pilihlah beberapa contoh aplikasi dari yang kalian baca. Memberikan contoh dapat mempermudah kita mengingat teori yang dijabarkan dan menarik benang merah yang dijahit sang penulis melalui argumen-argumennya.
  • Janganlah berprinsip ‘yang penting sudah dibaca’, namun berprinsiplah bahwa ‘saya harus mengerti apa yang saya baca’. Lebih baik memiliki pemahaman mendalam mengenai beberapa materi, daripada memiliki pemahaman yang samar-samar mengenai seluruh materi. Sekali lagi, yang samar-samar itu hanya membuang-buang waktu, membuat bingung bin menjerumuskan.
  • Buatlah rangkuman dari apa yang sudah kalian pelajari.

Ketika Tugas Menghampiri

  • Mulailah merjakanlah tugas lebih awal, jangan menunda-nunda hingga mendekati deadline. Bila ada jawaban yang belum kalian yakini kebenarannya, maka kalian masih memiliki waktu untuk mencari tahu.
  • Berusahalah untuk mengerjakan tugas sendiri. Jangan mengandalkan si juara kelas dan hanya mencontek pekerjaannya. Percayalah, kemandirian dalam mengerjakan tugas akan membuat kita lebih paham, giat, kreatif, dan bertanggung jawab.

Ketika Ujian Telah Tiba

  • Berdoalah, karena Tuhan YME pasti akan membantu hamba-Nya yang selalu mengingat-Nya dan sudah berusaha.
  • Percaya diri bahwa kalian mampu mengerjakan soal-soal ujian, dan meraih nilai yang terbaik, karena kalian telah melalui proses perjuangan: belajar dengan jitu.

Selamat belajar, semoga mendapatkan hasil yang terbaik!

Labirin Rau

Oleh: Putri Dwina Juniandri
German literature, Istanbul University

15 Maret 2012

Dibaliknya cangkir mungil itu dengan mantap. Sepersekian detik saja lalu diperlihatkannya guratan ampas kopi yang tak beraturan itu. “Hidupmu bagai labirin,“ ujar sang teyze[1] dengan sunggingan senyum.  Labirin. Kata itu terus terngiang di kepala. L-a-b-i-r-i-n. Tujuh huruf yang enggan pergi.

***

            Entah mengapa malam itu begitu saja kaki ini melangkah masuk ke sebuah kedai di ujung Taksim. Kedai yang tertutup oleh deretan toko baju berkelas itu adalah sebuah kedai minuman umum di sudut kota. Teh, kopi, sisha bermacam rasa, dan permainan tavla[2] menjadi suguhan khas. Dan untuk pertama kalinya sejak tinggal di kota dua benua ini aku mencoba secangkir kopi. Kopi yang kupesan hanyalah secangkir kopi mungil tak lebih besar dari sejengkal tangan. Kuputuskan untuk tidak menambahkan gula ke dalamnya. Biarlah ia tetap menjadi pekat dan pahit, pikirku.

Dengan sedikit ragu kuangkat cangkir itu dan kudekatkan ke bibir. Kuperhatikan cairan kental berwarna hitam di hadapan. Kopi? Aku tak pernah suka kopi. Dari semua jenis dengan berbagai campuran penggugah rasa tak ada yang mengena. Kopi selalu membuatku mual, titik. Namun anehnya tidak malam ini. Mungkin karena aroma legitnya atau otak yang dengan sengaja mengalihfungsikan logika dan indra pengecap hingga meyakinkanku untuk meneguk. Aku tak tahu dan tak mau tahu. Yang aku tahu kopi di cangkir mungil malam itu menjadi hal yang tak kuasa kutolak dan tanpa dinyana terasa begitu nikmat.

Bulir-bulir kopi berlari cepat menuju tenggorokan dan berkejar-kejaran sampai ke lambung. Merambah, mengalir hangat. Kukecap ampasnya dengan perlahan sembari memandang orang-orang berlalu-lalang. Samar-samar terdengar sekumpulan pemusik memainkan saz[3] dengan tepukan riuh di seberang jalan. Orang-orang yang berjalan cepat mengendurkan langkah dan tenggelam dalam irama. Tak sungkan mereka melempar koin dan ikut menari bersama. Sementara beberapa wisatawan asing dengan gesit membidik renyahnya kota dalam lensa. Di tengah semua hiruk-pikuk itu, di sinilah aku. Duduk diam dengan tatapan lelah. Menggenggam ponsel begitu resah dan sesekali melirik ke arah layar. No new message. Tak mungkin ada pesan di tengah malam seperti ini, batinku. Ya tak mungkin. Kupaksa diri untuk tenang dan menarik napas dalam. Asupan karbon dioksida di kota yang bersih ini tak cukup menentramkan ternyata.

Tanpa diminta sebersit rupa itu muncul kembali. Tatapan datar yang ajaibnya selalu menenangkan. Sosoknya jelas tergambar dalam benak. Seolah-olah ia tengah duduk di bawah langit yang sama. Mengenggam tangan tanpa suara sembari memperhatikanku yang tengah bercerita. Sesekali ia mengulum senyum sambil mendaratkan usapan di pipi. Masih tanpa suara. Dan dagu itu. Ah, dagu dengan segurat luka yang ia dapat di masa kecil menjadi magnet tersendiri. Membuatku ingin memandang wajahnya lebih lama. Lebih dalam setiap hari. Meski tanpa suara, meski tanpa kata, sungguh tak mengapa. Potongan ingatan itu diam-diam merangkai diri. Beratus kali kusanggah, beribu kali ia singgah. Membuatku susah bernapas. Lalu dengan cepat kembali kualihkan pandangan ke cangkir putih bermotif biru di hadapan. Satu tegukan terakhir sebelum beranjak pulang, bisikku.

Baru saja hendak bangkit meninggalkan meja, seseorang menepuk pundakku dengan lembut. Aku pun menoleh ke belakang. Seorang wanita tua berwajah teduh tengah berdiri di sana. Tingginya tak lebih dariku. Ia mengenakan terusan ungu bermotif bunga, sepadan dengan selendang berbentuk simpul yang ia sampirkan di leher. Rambut putihnya apik tersanggul membingkai wajah termakan usia. Ditatapnya aku dengan lembut.

Kaderinize bakmak ister misiniz?“[4] Ujarnya setengah berbisik.

Sesaat aku terdiam. Mencoba menelaah apa maksudnya. Bahasa itu masih saja asing ditelinga meski hampir setiap hari mendengarnya. Aku pikir ia ingin meramalku. Ramal. Seperti ramalan tarot atau bola kaca ala para gipsi itu? Ah, ramal. Aku terlalu lelah untuk diramal. Tidak malam ini. Baru saja hendak melontar kata, wanita itu menarik kursi dan duduk di sampingku. Dengan bingung aku menatapnya. Aku lelah. Aku hanya ingin segera pulang. Bola mataku menyorot enggan. Namun seolah tak perduli ia mengambil cangkir kopi yang tergeletak di atas meja. Dibaliknya cangkir mungil itu dengan mantap. Sepersekian detik saja lalu diperlihatkannya guratan ampas kopi tak beraturan itu.

“Hidupmu bagai labirin,“ ujar sang teyze dengan sunggingan senyum di bibir. Labirin. Kata itu terus terngiang di kepala. L-a-b-i-r-i-n. Tujuh huruf yang enggan pergi. Menutup hariku di jantung kota Istanbul, Turki malam itu.

***

            Sejak semula aku tahu akan menjadi seorang penulis. Ya penulis. Dengan mantap kudeklarkan cita-cita itu di saat usiaku belum genap delapan tahun. Di saat semua anak tengah sibuk menyusun lego dan bermain boneka, aku sibuk merangkai kata yang seringkali susah dibaca. Di saat semua anak terpesona dengan barbie dan koleksinya, mataku berbinar melihat ensiklopedia meski tak kupahami benar semua isinya. Di saat semua anak gemar menonton kartun dan tayangan minggu, aku berceloteh riang tak berkait tanpa hentinya. Dan disaat semua orang tak sanggup meladeni, entah bagaimana cadangan energiku selalu ada.

Kakek sering berujar bahwa temanku semasa kecil adalah mesin ketik tuanya. Dengan mesin itu aku mengetik beragam cerita saduran bobo, buku anak sampai hasil imajinasi. Semua karya kusimpan dalam kotak kaleng berwarna merah bersama potongan artikel berbagai negara. Lembaran kertas itu begitu berharga sampai-sampai ibu pun tak berani membuangnya. Kotak merahku tergolek aman di sudut meja. Membukanya dengan pandangan takjub adalah ritual tetap sebelum tidur. Bola mataku berputar lincah sembari menatap lama tiap lembaran. Meski kotak itu mulai berkarat, namun isinya terus bertambah. Satu per satu kuselipkan seperti doa. Akan kubuat berbagai cerita menembus dimensi ruang dan waktu. Membangun dunia imajinasi lantas menyelami setiap jengkalnya. Kotak merah itu adalah kunciku bertualang, batinku.

Ribuan kilometer jauhnya aku dari semua memori itu. Segala perkataan kini bukan sekedar impian. Petualangan telah kumulai dengan cepatnya. Menjejakkan kaki di berbagai tempat dan mengecap udara berbeda-beda. Kaleng merah itu pun selalu ikut bersama. Masih tergolek ia di sudut meja dalam ruangan yang kerap berganti rupa. Ia selalu ada menemani. Teman seperjalanan yang takkan bisa diganti. Berdua kami menjelajah bersama. Meski merahnya memudar tertutup karat, tak pernah ia mengeluh atau pun susah. Setia ia di sana. Menunggu untuk dibuka dan dijejali berbagai mimpi. Salah satu mimpi itu ada di kota ini. Kota yang menjadi rumah kedua sejak tiga tahun lamanya.

Aku jatuh cinta pada Istanbul. Cantiknya Mesjid Biru dan Hagia Sophia beserta rangkaian misteri di dalamnya, deretan pemancing pada tepian bosporus di bawah langit yang kerap berganti warna, aroma berbagai bumbu dan keju dalam Spice Bazar[5], kerlipnya Boğas Koprusu[6] yang menjadi penghubung dataran Istanbul Eropa dan Asia, serta riuhnya orang segala rupa yang mendiami kota ini bersama-sama. Istanbul adalah mini dunia, begitu aku selalu berujar.

Di luar semua keindahan itu hanya hembusan angin yang kerap membuat badan melayuku ini merinding. Terlebih lagi dua minggu terakhir menjelang pergantian musim. Warna langit kian muram menyelimuti bintang yang tertidur pulas. Sesekali hujan disertai relungan riuh. Seperti tiga tahun lalu, tepat di bulan ini. Segarnya angin menembus kulit dan menjalar cepat  menuju otak. Membangunkanku dari 15 jam perjalanan antar negara. Meski rambut-rambut halus di sekujur tubuh berdiri perlahan, kurentangkan tangan sembari tersenyum lebar. Merhaba Mustafa! Tantangku pada langit kala itu.

Istanbul adalah lanjutan hidup dari berbagai kota di belahan negara berbeda sebelumnya, setelah Maroco, Barcelona, dan New York. Untuk pertama kalinya dari semua petualangan itu aku menetap lama. Kota ini memiliki magnet tersendiri dengan segala umpan. Berbisik nakal mengajak tinggal. Keindahan yang tak hanya menampilkan rayuan namun menjelma menjadi kenyataan. Keindahan yang tak lagi hanya keseharian namun telah menjadi kehidupan. Melekat perlahan-lahan tanpa kusadar. Kota yang menawarkan seribu satu harapan.

***

            Tak seperti biasanya, seharian ini kuhabiskan dengan meringkuk di sudut sofa. Artikel mengenai Anadolu yang harusnya segera kukirim itu tergeletak begitu saja di atas meja, tak tersentuh. Beberapa kali dering ponsel memecah keheningan. Berdering berulang-ulang enggan kujawab. Aku yakin Peter, editorku pasti tengah memaki di seberang sana. Lelaki berperawakan mungil keturunan Scotlandia itu memang terkenal dingin dan perfeksionis. Tak jarang kudengar cerita akan kontributor asing yang bermasalah dengannya. Namun saat ini bukan sosok Peter yang terbaca. Bukan kawasan Timur Turki beserta suku Kurdi sebagai kelompok imigran terbesar yang ada di kepala. Bukan pula deadline yang sudah ada di depan mata. Bukan itu. Semua kosentrasi terserap begitu saja oleh selembar kertas yang tengah kudekap erat di dada.

Kertas itu kuning memudar. Terselip begitu lama dalam memori antar cerita. Tak pernah lagi kuingat tentangnya. Membatu, menunggu untuk dibuka. Pagi itu setelah menghabiskan dua pekan di luar kota, kumulai hari dengan membuka tirai dan duduk menghadap jendela. Kupandangi jalan di bawah sana dengan nikmat sembari menyeruput secangkir teh hangat. Matahari yang enggan bersinar tak menghalangi orang-orang beraktivitas. Lelaki tua berjaket tebal menjajakan simit[7], anak-anak sekolah beseragam hijau saling berkejaran, gadis muda bersepatu tinggi berperang melawan udara dan ibu-ibu berbalut scarf menggendong bayi semerah jambu. Semuanya kuperhatikan begitu detail tak terlewat. Dari studio miniku ini semua tertangkap dengan baik. Begitu hidup dan inspiratif.

Setengah jam duduk menatap lantas kualihkan pandangan ke sudut dinding. Lima belas menit menjelang tujuh. Dengan malas kuletakkan cangkir di atas tumpukan piring. Jangankan mencuci, akhir-akhir ini aku hampir tak sempat pulang ke rumah. Deretan liputan menanti dikerjakan. Sembari menyalakan monitor, aku buka lagi ulasan perjalanan dua minggu lalu. Kawasan Timur Turki menjadi bahasan utama edisi depan. Begitu eksotis tak terjamah. Shwan sang kontributor Amerika yang ikut mendampingi pun sungguh terpesona. Belum lagi berbagai gambar yang tertangkap dalam lensa. Pasti Peter akan puas dengan hasilnya, pikirku mantap.

Sambil mengulum senyum jemariku menggenggam mouse dan membuka kotak email di sudut layar. Kubaca dengan cepat deretan inbox itu. Sebagian besar adalah tumpukan pesan dari relasi, beberapa info jejaring maya, dan spams tak penting. Baru saja hendak menhapus, pandanganku terhenti pada sebuah pesan tanpa judul. Grey@gmail.com, nama sang pengirim. Kupandangi email itu dengan tanya. Asing. Kulihat tanggal yang tertera di layar, 2 November 2010. Dua minggu lalu di saat aku tengah meliput. Lantas kuputuskan untuk membuka dan membacanya dengan perlahan.

Apa kabarmu Rau?

            Begitu singkat dan tanpa koma. Kutelesuri kalimat itu dengan napas tertahan. Rau. R-a-u. Rasanya seseorang tengah memanggilku jauh dari masa lalu. Lama nama itu tak tersebut. Rau. Sejak bangku sekolah tak ada lagi yang mengenalku dengan nama itu. Rau. Berputar-putar di kepala. Membuka dimensi ruang dan waktu, seperti cerita-cerita yang pernah kutulis dulu. Siapa yang memanggilku? Siapa? Kucoba mengingat dan melompat jauh ke dalam. Rau.

Samar-samar terlintas seraut wajah. Menggenggam tangan sembari menatap hangat. R-a-u. Dengan cepat aku beranjak dari kursi. Seolah terbangun dari mimpi aku pun berlari menuju kamar. Kuambil kaleng merah berkarat yang ada di sudut meja. Kali ini tak ada pandangan takjub atau bola mata menatap binar. Tumpukan kertas kujatuhkan begitu saja. Tanganku mencari-cari sebuah cerita. Cerita yang kutulis di masa silam. Cerita dengan nama di dalamnya. Kubuka tiap lembaran dan membacanya dengan teliti. Bukan. Bukan cerita ini. Sembari mengumpulkan ingatan, tanganku mencari-cari dalam tumpukan. Terus-menerus tanpa henti. Dan…, itu dia. Selembar kertas kuning memudar dengan tulisan tanganku semasa kecil. Di bawahnya tertera sebait pesan dan pengirimnya.

            Jangan menangis lagi Rau.

            Pram.

***

            Umurku dua belas kala itu. Bersembunyi di balik tangga sambil menutup telinga. Berusaha menutup rapat meski tahu tak ada gunanya. Samar-samar terdengar ayah dan ibu melontar kata. Begitu lantang nyaris berdenging. Yang aku tahu mereka tidak tengah bersenda gurau. Tak ada canda dan tak mungkin tawa. Aku tahu, karena pemandangan itu normal bagiku. Begitu normal sampai kubosan melihat. Namun kali ini semua terjadi begitu cepat. Mereka saling mendorong dan menahan. Sekian detik saja lalu ibu pun pergi membawa tas meninggalkan ayah. Meninggalkan aku dan tak pernah kembali.

Sejak hari itu aku tinggal bersama kakek. Ayah hanya sesekali datang menjenguk. Ia tak pernah tinggal lama karena sibuk bekerja. Kakek berujar bahwa ayah dan ibu harus berpisah. Bukan karena mereka tak saling cinta, namun justru sebaliknya. Mereka harus berpisah karena tak mungkin hidup bersama. Ayah dan ibu saling mencinta dengan cara berbeda. Meski tak kupahami maksud kakek kala itu, namun aku mengangguk pilu. Aku berusaha tak menangis. Menahan bulir bening di sudut mata, lantas menenggelamkan diri menulis cerita.

Cerita itu kutulis dalam selembar kertas berwarna kuning. Cerita tentang keluarga kelinci di tengah hutan. Sang bapak gendut berkumis tebal, sementara ibu kelinci berparas cantik. Mereka hanya punya seroang anak, kelinci mungil berpita merah. Cerita itu kutulis sambil menangis. Kupaksakan diri terus menulis hingga tertidur menggenggam pena. Hanya pada Pram kuperlihatkan cerita itu. Pram yang selalu tahan mendengar semua celoteh. Pram yang tak pernah protes atau berlari menutup kuping. Hanya dia dan selalu dia yang tertinggal, duduk di bangku kelas mendengarkan. Menatapku tak bersuara sembari mengulum senyum.

“Pram ini cerita baruku. Judulnya kelinci berpita merah.”

Dengan antusias kutunjukkan cerita yang kutulis malam tadi. Seperti biasa Pram menatap diam.

“Ceritanya bagus. Kamu baca ya Pram,“ ujarku sembari menyodorkan selembar kertas padanya.

“Pokoknya kamu harus baca. Ba..ca…,” ujarku mulai menangis.

Aku menangis terisak-isak tak berhenti. Bulir mata yang semalam tertahan kini keluar tak terbendung. Masih dengan diam Pram mengambil kertas kuning itu. Lalu perlahan, digenggamnya tangan mungilku.

“Rau…jangan menangis, “ ujarnya sambil menatap hangat.

***

            Tiga hari berlalu sejak Pram mengirim pesan. Pesan singkat itu masih diam tersimpan dalam monitor tak terbalas. Aku mencoba melupakan dan menenggelamkan diri lewat tulisan. Artikel mengenai Anadolu kembali kukerjakan perlahan-lahan. Deadline yang semakin dekat sungguh memaksaku bekerja tanpa henti. Dering ponsel pun tak lagi hanya menjadi dering tak berarti. Kujelaskan pada Peter bahwa semuanya hampir selesai dan berjanji mengirimnya esok lusa.

Ditemani segelas susu hangat dan potongan biskuit kupandangi monitor putih itu tanpa henti. Jemariku bergerak cepat merangkai kata. Membangun dunia dalam wacana. Potongan-potongan gambar menambahkan warna tiap sudutnya. Wanita Kurdi paruh baya tertangkap dalam lensa. Bertubuh besar dan menggendong seorang balita. Di dekatnya berdiri sang anak tua. Bertiga mereka tinggal dalam sebuah rumah batu tampak begitu bahagia. Ah, Bahagia. Kata yang telah mengilang lama.

I want to take a break for a week,” ujarku pada Peter siang itu setelah menyerahkan liputan.

Dipandangnya aku penuh curiga sembari membetulkan letak kacamata mahalnya.

Why? Are you sick Rania?”

            “No…no…I’m fine. It just a freaking month and I need to go off for a while.”

Masih dengan tanya Peter menatap. Meski sebenarnya tak yakin diijinkan, namun tanpa jengah bola mataku lurus menyorot. Anehnya Peter yang selalu menjawab dingin tiba-tiba tersenyum simpul.

Ok…take care then!” Balasnya formal sembari menepuk pundak dan berlalu.

Cuti seminggu ini akan kuhabiskan di rumah saja, pikirku. Hanya ingin diam tak kemana-mana. Sekotak piza dan cola adalah temanku siang itu. Kukunyah dengan nikmat sembari menyalakan tv. Beberapa jam tak beranjak kupandangi ruang kecil persegi ini dengan acuh. Semua barang berserakan tak karuan. Dingin tak bertuan. Tergerak begitu saja aku pun lantas mengambil sapu dan  mulai membersihkan. Perabotan makan yang lama tak tersentuh kubilas hangat hingga mengkilat. Tumpukan buku yang tergolek di lantai kembali kuatur hingga membujur. Lembaran-lembaran cerita yang terjatuh kumasukkan ke dalam kaleng satu per satu. Dan kertas kuning…, tergelatak diam ia di situ. Kusentuh pinggirnya dengan lembut. Pram, bisikku lirih. Kubaca lagi rangkaian kata dan mengulangnya ibarat doa. Pram…, uajarku menutup mata. Menghempasnya.

Aku berlari menghindar. Menghindar berulang-ulang. Seperti yang senantiasa kulakukan. Semua petualangan itu, semua mimpi itu. Ah,  ingin rasanya lompat dan jatuh dengan ringan. Namun kali ini tak bisa kulihat arahnya. Kucoba gapai namun hampa. Kucoba raih tapi hilang berbuih. Meski begitu kupaksa kaki ini berlari hingga lelah. Kupaksa diri ini menjauh tak menyerah. Menjauh dari realita. Menjauh dari cinta.

Aku tak pernah ingat berapa kali kakek berujar soal kerasnya hatiku.

“Rania, cobalah untuk memaafkan,“ nasehatnya.

Namun enggan aku mendengar dan terus saja tenggelam semakin dalam. Aku tak percaya hal tak kasat mata. Seperti ayah dan ibu yang mencinta dengan cara berbeda. Semua itu tak ada. Semua itu tak nyata dan hanya dongeng belaka. Dengan cepat kertas kuning itu kuremat dan kulempar tanpa sadar. Aku pun bangkit menuju pintu. Mengambil mantel, mengenakan boot sekenanya lalu beranjak pergi. Menajuh terbang hingga menghilang. Samar-samar kudengar ibu melontar kata dan ayah yang membalasnya lebih hebat. Bunyi itu. Denging itu. Biarkan terhisap sampai lenyap. Kulangkahkan kaki tanpa tahu harus ke mana. Kuikuti saja rimanya tanpa arah. Kuikuti saja lajunya tanpa jengah hingga dihantarnya aku ke sebuah kedai di ujung Taksim.

 ***

            “Rau…“

“Rauu…“

Kudengar suara itu berbisik.

“Rauuu…“

“Rauuuu…“

Kali ini lebih panjang, terus menerus tanpa jeda. Meski gelap kucoba cari sumber datangnya. Ruangan ini adalah lorong-lorong panjang penuh sekat. Mencoba terus melangkah namun tak dapat. Tertahan aku begitu kuat. Meronta-ronta pun aku tak sempat. Dalam labirin aku terjerat.

Labirin. Mimpi yang sama di setiap malam sejak wanita itu meramalku. Dengan napas berat kupandangi langit-langit kamar bermotif dadu. Di antara sekian kotak itulah aku berada. Berputar-putar mencari jalan. Berputar-putar tanpa haluan. Seperti dulu ketika bermain di tengah taman. Taman itu begitu luas dengan deretan cemara berbentuk lingkar. Letaknya jauh dari rumah. Aku memilih tak bermain ayunan, tak juga papan jungkat-jungkitan. Riuh anak lain yang bersahutan bahkan tak menarik perhatian. Dengan asik kutatap buku bersampul coklat di genggaman. Lembarnya tebal penuh gambar. Berbagai negara dengan orang berbeda-beda. Seperti pelangi, celotehku sendiri. A-m-e-r-i-k-a. Ulangku terbata-bata. Meski kala itu belum kutahu benar di mana letaknya, mataku berbinar bahagia. Satu per satu nama negara itu kubaca. Kulang dengan perlahan sambil menatap takjub.

Tanpa terasa mentari tenggelam berganti bintang. Aku pun bangkit beranjak pulang. Namun cemara lingkar itu begitu tinggi hingga sulit melihat jalan. Setengah jam berputar-putar lalu terduduk lelah aku di ayunan. Memeluk buku bersampul coklat sambil mendongak menatap langit. Kakek pasti tengah resah mencari, desahku. Buku itu kubuka lagi. Pada lembar kelima lalu berhenti. Andai ada mesin waktu ijinkan aku terhisap jauh dan melompat dalam. Aku ingin pulang. Perlahan kudorong diri ke depan dan belakang. Mengayun dengan rima memecah malam. Tak jauh dari pandangan, kulihat seseorang datang mendekat. Sosok yang telah kukenal lama. Anak lelaki berambut ikal dengan kemeja sewarna langit. Berjalan lurus ia ke arahku dan berhenti tepat di hadapan.

“Sudah kubaca,“ ujarnya singkat sambil mengatur napas.

Dengan hati-hati diambilnya sebuah kertas dari dalam kantong dan diberikannya padaku. Kertas kuning itu kembali dalam genggaman. Aku yang selalu berceloteh panjang, kini menatap diam. Aku yang selalu punya bahan cerita, kini kehabisan kata. Tertunduk menahan malu. Tanpa suara lantas ia menarikku dengan lembut.

“Ayo pulang Rau.“

Begitu saja dan berjalan kami beriringan.

***

             Sejak duduk di bangku SMA tak ada lagi yang memanggilku Rau. Nama itu terkubur jauh. Hanya Rania Umaya. Hanya Rania. Entah kapan terakhir kalinya kulihat anak lelaki pendiam itu. Yang tertinggal cuma cerita setelah kepindahanku bersama kakek ke lain kota. Tanpa kabar, tanpa berita. Di sana kuhabiskan hidup mengejar cita. Selepas kuliah lantas aku pun mulai bekerja. Menulis paruh waktu hingga akhirnya mendunia.

Di sela cerita itu silih berganti pria hadir menawarkan cinta. Berganti rupa mereka tak terkira. Tak pernah ada yang mengena hanya hiburan saja. Begitu berulang-ulang sampai jengah. Seperti dering ponsel yang tak henti-hentinya di sudut meja. Kupandangi layar dengan enggan. 25 New Messages. Sudah bisa dipastikan isi dan pengirimnya tanpa perlu melihat. Pesan yang harusnya kujawab dan tak menumpuk hampa. Puluhan panggilan yang semestinya kuangkat dan tak sia-sia.

Where have you been Rau? I miss u.

            Kubaca kalimat itu dengan muram dan lantas diam menghapus. Sejak kepulanganku ke Istanbul belum ada satu pun kabar yang kukirim padanya. Pada lelaki Polandia yang kukenal ketika tengah meliput di kawasan tengah Turki, Kapadokia. Ia adalah seorang seniman. Datang ke Istanbul tujuh tahun lalu untuk mendalami seni keramik. Selalu santai dan menikmati hidup. Begitulah Roman di mataku, kekasih selama dua tahun ini.

Roman yang perlahan masuk mencoba tawarkan cinta. Melompat ia melewati batas lalu menarik sekuat tenaga. Roman yang tak jarang membuatku lupa akan hidup, begitu mudahnya. Dan Roman yang membuatku bahagia lantas kecewa pada saat yang sama. Entah berapa kali ia coba melamar. Berusaha memberi janji enggan kudengar. Aku tak ingin menikah, jawabku singkat. Tak ingin dan tanpa koma. Namun Roman tak pernah mengerti. Tak dapat ia memahami. Betapa pun kersanya mencoba, tak juga kutemukan titik tengahnya. Bersamanya aku merasa berputar-putar. Bersamanya tidak dapat kutemukan jalan keluar. Roman dan aku hanya bertengkar tak mengakar.

***

            Inilah saatnya, bisikku pelan. Meski takut, aku tak boleh lagi mundur menghindar. Di hari terakhir sebelum kembali bekerja kutatap wajah melayu itu di cermin. Bola mata yang kerap menyorot curiga kini berpendar lebih jelita. Muka bundar tanpa bedak kubiarkan natural saja. Lantas rambut hitam yang sering terjepit kali ini tergerai menutup pundak. Sementara sunggingan senyum yang lama tertidur dengan malu-malu ia tersembul.

Untuk terakhir kalinya kutatap studio ini. Tak semua barang kubawa pergi, kubiarkan sebagian tertinggal dengan kenangan. Rasanya baru kemarin kutantang langit sambil merentang tangan. Duduk di tepian Bosporus dan memandang jauh. Jauh tanpa batas mempertanyakan. Aku berusaha menerka-nerka akhir jawaban, namun tak dapat jua kutemukan. Ternyata ia ada di sana. Tersimpan rapat dalam memori. Lama menanti hingga terbuka.

Selintas kualihkan pandangan ke arah Layar. Layar dengan sebuah pesan yang tak lagi hanya diam terpendam. Layar dengan sebuah nama yang takkan lagi terlupa. Pesan itu akhirnya telah kujawab semalam. Bersama dua pesan lain untuk dua laki-laki berbeda. Peter yang mungkin membaca dengan tatapan dingin dan Roman yang terluka. Aku hanya berusaha membuat sebuah keputusan. Keputusan yang tengah kucoba percayai ujungnya. Dengan baju sewarna langit kudekap kotak merah berkarat itu di dada. Melangkah pelan dari labirin ke arahnya. Pram, aku pulang.

**

[1] Panggilan untuk wanita yang lebih tua dalam bahasa Turki.
[2] Permainan black damon.
[3] Alat musik tradisional Turki serupa gitar berukuran mini.
[4] Apakah anda ingin diramal?
[5] Tempat wisata yang menjual beraneka macam bumbu dan souvenir khas Turki.
[6] Jembatan Bosporus.
[7] Roti khas Turki dengan taburan wijen berbentuk cincin.

Sebuah Potrait Kebahagiaan

Oleh: Medy Kesuma Putra
Mathematics Engineering, Istanbul Technical University

5 Maret 2012

Saya sudah lama memegang kamera dan sudah banyak juga hasil bidikan ( jepretan ) yang saya ciptakan. Semua orang bisa melihat saya dan kamera saya sebagai hobi atau hanya kerjaan selingan saja. Tetapi saya dan kamera saya ( sebutlah si hitam ) bukanlah sekedar hobi. Mungkin kalian penasaran dengan apa yang saya lakukan dengan si hitam.

Terkadang, kita tidak mudah mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam diri kita. Contoh saja amarah kita, atau rasa senang kita. Semua hanya bisa kita rasakan dan kita pendam saja. Lain halnya jika kita ingin meluapkannya. Saya adalah salah seorang yang tidak pandai mengungkapkan dan menjelaskan apa yang saya pendam atau saya rasakan. Semua seperti berhenti dan tersangkut di tenggorokan, tidak mampu keluar sampai ke rongga mulut. Oleh karena itu dengan bantuan si hitam saya dapat mengungkapkan semua apa yang saya pendam. Seperti bidikan saya yang satu ini;

Inilah potrait kebahagiaan yang saya ciptakan dengan si hitam.